Q.S. An-Nisa (4) : 59 merupakan dalil yang
menunjukkan ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua diantaranya sebagai
sumber utama ialah Al-Qur’an dan As-sunnah, dan sumber yang “koordinatif” serta
bergantung pada sumber utama yaitu ijma (konsensus Ulama/ahli hukum) dan
ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum islam). Namun, ayat ini
memiliki lingkup yang lebih universal untuk menetapkan tata nilai/hukum pada
sasaran individu di tengah masyarakat, di samping tata nilai yang harus
dipatuhi.
Seperti apa yang terkandung dalam makna hadits dari
Muadz bin Jabbal RA bahwa ijma dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam
alternatif (bukan utama), sehingga untuk lebih spesifiknya, hanya terdapat 3
(tiga) sumber hukum islam untuk memutuskan perkara yaitu :
1.
Al-Qur’an
2. Sunnah
A.
AL-QUR’AN
ü Sebagai
sumber hukum agama islam yang pertama.
ü Diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril, tepat pada tanggal
17 Ramadhan (sehingga sering diperingati sebagai nuzulul qur’an.)
ü Fungsi
dan peranan Al-Qur’an, meliputi :
1. Sebagai
mu’jizat
Al-Qur’an menjadi salah
satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab di zaman Rasulullah ke dalam
agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang
dan (Insya Allah) pada masa yang akan datang.
2. Sebagai
pedoman hidup
Al-Qur’an mengemukakan
pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam berhubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
3. Sebagai
korektor
Al-Qur’an mengungkapkan
persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain
yang dinilai Al-Qur’an sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Allah
yang sebenarnya. Persoalan-persoalan tersebut antara lain :
a. Tentang
ajaran Trinitas dalam Al-Qur’an ; Q.S. Al-Maidah (5) :75
b. Tentang
Isa Almasih dalam Al-Qur’an ; Q.S. Ali Imron (3) : 59
c. Tentang
penyaliban Isa Almasih dalam Al-Qur’an ; Q.S. An-Nisa (4) ; 757
ü Nama
– nama lain Al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Kitab
(sumber bacaan)
2. Al-Furqon
(pembeda hak dan batil)
3. Al-Huda
(petunjuk kehidupan)
4. Adz-Dzikir
(pengingat)
5. Al-Hikmah
(falsafah/kebijakan – kebijakan/penemu kebenaran/landasan pemikiran dan
pemahaman)
6. As-Syifa
(obat/penawar hati)
ü Pembagian
Isi Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat : 91 surat turunn
di Mekah dan 23 surat turun di Madinah. Ada pula yang berpendapat, 86 surat
turun di Mekah dan 28 surat turun di Madinah. Surat yang turun di Mekah
dinamakan makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut
prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, panggilannya ditunjukan pada segenap
manusia (sasaran utama : kafir Qurais)
agar mereka beriman dan bermoral yang jauh dari kebiadaban. Adapun surat
yang turun di Madinah dinamakan surat madaniyah, kitab (sasaran panggilannya)
tertuju kepada orang-orang mukmin, dan unsur perintah - larangan atau hukum-hukum Islam yang
terkandung di dalamnya. Diperkirakan 19/30 turun di Madinah, 11/30 turun di
Mekah. Atas inisiatif para ulama maka kemudian Al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30
juz. Dalam tiap juz dibagi-bagi pula pada setengah juz, seperempat juz, maqra
dan lan-lain.
ü Lima
garis besar isi kandungan al-Qur’an
a. Aqidah
(keimanan), tauhid dalam arti menyempurnakan keyakinan dan meluruskan i’tikad,
yang merupakan doktrin kepercayaan kepada Allah SWT.
b. Sya’riat
yang terdiri atas ibadah murni yakni aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan mu’amalah.
c. Akhlak,
yaitu memugar, meluhurkan, mensucikan, budi pekerti seperti sebagai jalan untuk
mecapai kebahagiaaan.
d. Sejarah,
kisah-kisah masa lalu untuk diambil pelajaran, peringatan, perbandingan,
keteladanan, dan perumpamaan yang bernilai tinggi guna mengarifkan hidup.
e. Berita-berita
soal masa depan dan pasca maa depan,
ramalan-ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern.
Umpamanya soal kejadian langit dan bumi, matahari, bulan, bintang dan planet
lain, proses kejadian manusia dan
sebagainya.
ü Sejarah
kodifikasi Al-Qur’an
dan Perkembangannya
Allah akan
menjamin kemurnian dan kesucian Al-
Qur’an dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an sejak nabi masih hidup dijamin kesuciannya. Sebagaimana dirman Allah SWT Q.S. Al Hijr (15) : 9, yang artinya “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”
Qur’an dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an sejak nabi masih hidup dijamin kesuciannya. Sebagaimana dirman Allah SWT Q.S. Al Hijr (15) : 9, yang artinya “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”
Begitu wahyu Al-Qur’an turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan
para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Pada awal
pemerintahan Khalifah yang pertama, Abu Bakar As Shiddiq, Al-Qur’an telah
dikumpulkan dalam mashaf-mashaf tersendiri. Pada zaman khalifah yang ketiga
Utsman bin Affan, Al-Qur’an telah sempat diperbanyak, hingga saat ini pun
Al-Qur’an yang asli masih ada.
ü Ilmu-ilmu
yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an antara lain :
a. Ilmu Mawathin Nuzul
Yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat turunnya Al-Qur’an.
b. Ilmu Asbabun Nuzul
Yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
c. Ilmu Tajwid
Yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-Qur’an.
d. Ilmu Ghabiril.
Yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya
dalam Al-Qur’an.
e. Ilmu Wajuh
Yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan
makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
f. Ilmu Amtsalil Al-Qur’an
Yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam
Al-Qur’an.
g. Ilmu Aqsamil Al-Qur’an
Yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Allah dalam
Al-Qur’an.
B.
AS-SUNNAH/
AL HADIST
ü Pengertian
Secara
etimologis Al-Hadist berarti antara lain: baru, Khobar. Dan secara terminologi
Al-Hadist berarti: segala perbuatan, perkataan dan ketetapan/persetujuan Nabi
Muhammad S.A.W (Af’al, Aqwal dan taqrir).
ü As-Sunnah/ Al Hadist Sebagai Sumber
Ajaran Islam
As-Sunnah/Al
Hadist adalah sumber ajaran kedua setelah Al Qur’an. Ayat-ayat Al Qur’an cukup
banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini seperti firman Allah
dalam Q.S Al Imran (3) : 32 yang artinya :
“
Katakanlah : “ Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir.”
Apabila
As-Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan menafsirkan ayat-ayat
Al Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an berbicara secara global dan umum, dan
yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah.
ü Hubungan As-Sunnah dengan Al Qur’an
Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah
dan penjelas bagi ayat-ayat tertentu, apabila disimpulkan tentang fungsi
As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal. Seperti hadist riwayat
Bukhari: Rasulullah SAW bersabda :
“Shalatlah kamu
sebagaimana melihatku shalat” merupakan tafsiran dari Al-Qur’an yang umum “aqimush-shalah” yang artinya dirikanlah
shalat.
b. Bayan Taqrir,
berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh penyataan-pernyataan Al-Qur’an.
Seperti hadist yang berbunyi :
“Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya” memperkokoh ayat Al-Qur’an Q.S
Al-Baqarah (2):185 yang artinya:
“Beberapa hari yang ditentukan
ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia...”
c. Bayan Taudih, menerangkan
maksud dan tujuan suatu ayat al-Qur’an. Seperti penyataan nabi SAW:
“Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah penjelasan dari Q.S At-Taubah (9):34 yang artinya:
“...dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah
maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan azab yang
pedih”.
ü Perbedaan antara Al-Qur’an dan
Al-Hadist sebagai Sumber Hukum
Perbedaan
anatara Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber hukum antara lain:
a. Al-Qur’an
kebenarannya qath’i sedangkan
Al-Hadist adalah dzanni/nisbi
(mengandung dugaan kecuali hadist mutawatir);
b. Seluruh
ayat Al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadist harus dijadikan pedoman
hidup. Disamping ada hadist yang shahih ada juga hadist yang dha’if dan
seterusnya;
c. Al-Qur’an
sudah tentu autentik lafadz dan maknanya, sedangkan tidak semua hadist
autentik.
ü Sejarah Singkat Perkembangan
Al-Hadist
Para
ulama membagi perkembangan hadist itu kepada 7 periode yaitu:
1) Masa
wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH- 11 SH)
2) Masa
pembatasan riwayat (masa khulafaur-rasyidin : 12 -40 H)
3) Masa
pencarian hadist (pada masa generasi tabi’in dan sahabat-sahabat muda: 41 H-
akhir abad I H)
4) Masa
pembukuan hadist (permulaan abad II H)
5) Masa
penyaringan dan seleksi ketat (awal abad III H samapai selesai)
6) Masa
penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada
tahun 656H)
7) Masa
pembuatan kitab Syarah Hadist, kitab-kitab koleksi yang lebih umum (656 H dan
seterusnya)
Pada zaman Rasulullah tidak ada
aktivitas pencatatan hadist terkecuali secara rahasia oleh para sahabat Nabi
yang khusus memerhatikan kepentingan hadists. Beberapa sebab dilarang keras
melakukan pencatatan hadist adalah sebagai berikut:
a. Nabi
sendiri melarangnya,kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu diizinkan beliau
sebagai catatan pribadi.
b. Rasulullah
berada di tengah-tengah umat islam sehingga dirasa tidak perlu untuk dituliskan
pada waktu itu.
c. Kemampuan
baca tulis dikalangan sahabat sangat terbatas.
d. Umat
Islam sedang dikonsentrasikan pada Al-Qur’an.
e. Kesibukan-kesibukan
umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan dakwah yang sangat
penting.
Sebelumnya hadits-hadits itu hanya
disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama
setelah nabi wafat dan pada saat generasi tabi’in mencari hadits-hadits itu. Di antara sahabat-sahabat
itu ialah seperti:
a. Abu
Hurairah meriwayatkan sekitar 5374 hadits
b. Abdullah
Bin Umar Bin Khatab meriwayatkan sekitar 2630 hadits
c. Anas
Bin Malik meriwayatkan sebanyak 2286 hadits
d. Abdullah
Bin Abbas meriwayatkan sebanyak 1160 hadits
e. Aisyah Ummu-Mu’minin meriwayatkan sebanyak 2210
hadits
f. Jabbar
Bin Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 hadits
g. Abu
Sa’idmeriwayatkan sebanyak 1170 hadits
ü Pengkodifikasian Al-Hadits
Pengkodifikasian Al-Hadits justru dilatarbelakangi
oleh adanya usaha-usaha membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu, baik
yang dibuat oleh umat islam sendiri karena maksud tertentu, maupun oleh orang-orang
luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Menurut sebagian besar
ulama hadits ada 7 kitab hadits yang dinilai terbaik:
a. Ash-Shahih
Bukhari
b. Ash-Shahih
Muslim
c. As-Sunnan
Abu Dawud
d. As-Sunnan
Nasai
e. As-Sunnan
Tirmidzi
f. As-Sunnan
Ibdu majah Al-Musnad Iman Ahmad
C.
IJTIHAD
ü Pengertian :
Ijtihad (Arab: اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang.
Secara bahasa ijtihad berasal
dari kata ja-ha-da. Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan
(Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri
Al-Fayumi.
Kata ijtihad secara bahasa,
Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara
bahasa adalah:
”pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam
melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani arti etimologi ijtihad adalah:
“Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan
apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an
surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35)
ayat 42.”
Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau
juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang
artinya:
“Pada waktu sujud” dan
hadist lain yang artinya “Rosul Allah SAW para ulama bersepakat tentang
pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
“Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam
mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili
(1978-480) Ijtihad adalah:
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu
yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara
tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum
yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan
dalil zhoni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian
ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku
dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat.
ü Tujuan
:
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan
umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu.
ü Fungsi
:
Meski Al Quran sudah
diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan
manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga
setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan
baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu
tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu
sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah
ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran
dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
ü Jenis-Jenis Ijtihad
1. Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para
ulama dalam menetapkan suatu hukum - hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan
disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang
baru dan belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga diberikan
hokum sama. Dalam Islam, Ijma
dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
a.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.
Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif
lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
3. Istihsân
Beberapa definisi
Istihsân
a.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli
fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa
bisa diekspresikan secara lisan olehnya
c.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
e.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di
masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
4.
Maslahah murshalah
Adalah tindakan
memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
ü Sududz Dzariah adalah tindakan
memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
ü Istishab adalah tindakan
menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
ü Urf adalah tindakan
menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat
selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal
dalam Alquran dan Hadis.
ü Mujtahid
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah
orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum
dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Menurut Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi
menjadi beberapa tingkatan:
a.
Mujtahid
Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali
hukum-hukum agama dari sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu
:
1. Mujtahid
mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan
dasar yang ia susun sendiri.
2. Mujtahid
madzhab.
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu
menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Waqi’
yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan
oleh nas.
2. Mujtahid
yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad
dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid
fih ialah hukum-hukum syari’ah yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil
syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari
t.tth:199-200)
ü HUKUM IJTIHAD
Ulama berpendapat, jika seorang
muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa
wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang
tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim
yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa
yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid
tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut
maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad
menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau
belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad
menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara
qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang
hukumnya telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan
Muhaimin dkk, 1994:189).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar