Label

Mengenai Saya

Foto saya
aku tax bisa menilai diriku sendiri.." hanya orang lain yang tau aku ini bagaimana.." tapi aku akan berusaha untuk buat orang yang kenal ama aku bisa merasa nyaman, senang serta bangga kepadaku.. dan esensi hidupku adalah "berbagi itu indah, dan ku cari sebuah kualitas hidup bukan hanya kuantitas dan sebuah kesalahan adalah hal terindah bagiku karena ialah yang akan membuatku berubah menjadi lebih baik" ~~ kontak : twitter @sushii_sp , email: susilo.prasetyo35@yahoo.co.id , tumblr : http://susilopra.tumblr.com/

Selasa, 09 Oktober 2012

Sumber Agama Islam




Q.S. An-Nisa (4) : 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua diantaranya sebagai sumber utama ialah Al-Qur’an dan As-sunnah, dan sumber yang “koordinatif” serta bergantung pada sumber utama yaitu ijma (konsensus Ulama/ahli hukum) dan ijtihad (upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum islam). Namun, ayat ini memiliki lingkup yang lebih universal untuk menetapkan tata nilai/hukum pada sasaran individu di tengah masyarakat, di samping tata nilai yang harus dipatuhi. 
Seperti apa yang terkandung dalam makna hadits dari Muadz bin Jabbal RA bahwa ijma dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam alternatif (bukan utama), sehingga untuk lebih spesifiknya, hanya terdapat 3 (tiga) sumber hukum islam untuk memutuskan perkara yaitu :
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijtihad

A.    AL-QUR’AN
ü  Sebagai sumber hukum agama islam yang pertama.
ü  Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril, tepat pada tanggal 17 Ramadhan (sehingga sering diperingati sebagai nuzulul qur’an.)

ü  Fungsi dan peranan Al-Qur’an, meliputi :
1.      Sebagai mu’jizat
Al-Qur’an menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab di zaman Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang dan (Insya Allah) pada masa yang akan datang.
2.      Sebagai pedoman hidup
Al-Qur’an mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam berhubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
3.      Sebagai korektor
Al-Qur’an mengungkapkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang dinilai Al-Qur’an sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Persoalan-persoalan tersebut antara lain :
a.       Tentang ajaran Trinitas dalam Al-Qur’an ; Q.S. Al-Maidah (5) :75
b.      Tentang Isa Almasih dalam Al-Qur’an ; Q.S. Ali Imron (3) : 59
c.       Tentang penyaliban Isa Almasih dalam Al-Qur’an ; Q.S. An-Nisa (4) ; 757

ü  Nama – nama lain Al-Qur’an, yaitu:
1.      Al-Kitab (sumber bacaan)
2.      Al-Furqon (pembeda hak dan batil)
3.      Al-Huda (petunjuk kehidupan)
4.      Adz-Dzikir (pengingat)
5.      Al-Hikmah (falsafah/kebijakan – kebijakan/penemu kebenaran/landasan pemikiran dan pemahaman)
6.      As-Syifa (obat/penawar hati)

ü  Pembagian Isi Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat : 91 surat turunn di Mekah dan 23 surat turun di Madinah. Ada pula yang berpendapat, 86 surat turun di Mekah dan 28 surat turun di Madinah. Surat yang turun di Mekah dinamakan makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, panggilannya ditunjukan pada segenap manusia (sasaran utama : kafir Qurais)  agar mereka beriman dan bermoral yang jauh dari kebiadaban. Adapun surat yang turun di Madinah dinamakan surat madaniyah, kitab (sasaran panggilannya) tertuju kepada orang-orang mukmin, dan unsur perintah -  larangan atau hukum-hukum Islam yang terkandung di dalamnya. Diperkirakan 19/30 turun di Madinah, 11/30 turun di Mekah. Atas inisiatif para ulama maka kemudian Al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30 juz. Dalam tiap juz dibagi-bagi pula pada setengah juz, seperempat juz, maqra dan lan-lain.

ü  Lima garis besar isi kandungan al-Qur’an
a. Aqidah (keimanan), tauhid dalam arti menyempurnakan keyakinan dan meluruskan i’tikad, yang merupakan doktrin kepercayaan kepada Allah SWT.
b.   Sya’riat yang terdiri atas ibadah murni yakni aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan mu’amalah.
c.   Akhlak, yaitu memugar, meluhurkan, mensucikan, budi pekerti seperti sebagai jalan untuk mecapai kebahagiaaan.
d.      Sejarah, kisah-kisah masa lalu untuk diambil pelajaran, peringatan, perbandingan, keteladanan, dan perumpamaan yang bernilai tinggi guna mengarifkan hidup.
e.  Berita-berita soal masa depan  dan pasca maa depan, ramalan-ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern. Umpamanya soal kejadian langit dan bumi, matahari, bulan, bintang dan planet lain, proses kejadian manusia dan sebagainya.

ü  Sejarah kodifikasi Al-Qur’an dan Perkembangannya
Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-
Qur’an dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an sejak nabi masih hidup dijamin kesuciannya. Sebagaimana dirman Allah SWT Q.S. Al Hijr (15) : 9, yang artinya “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”
Begitu wahyu Al-Qur’an turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Pada awal pemerintahan Khalifah yang pertama, Abu Bakar As Shiddiq, Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mashaf-mashaf tersendiri. Pada zaman khalifah yang ketiga Utsman bin Affan, Al-Qur’an telah sempat diperbanyak, hingga saat ini pun Al-Qur’an yang asli masih ada.

ü  Ilmu-ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an antara lain :
a.       Ilmu Mawathin Nuzul
Yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat turunnya Al-Qur’an.
b.      Ilmu Asbabun Nuzul
Yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
c.       Ilmu Tajwid
Yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-Qur’an.
d.      Ilmu Ghabiril.
Yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya dalam Al-Qur’an.
e.       Ilmu Wajuh
Yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
f.       Ilmu Amtsalil Al-Qur’an
Yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an.
g.      Ilmu Aqsamil Al-Qur’an
Yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Allah dalam Al-Qur’an.

B.     AS-SUNNAH/ AL HADIST
ü  Pengertian
Secara etimologis Al-Hadist berarti antara lain: baru, Khobar. Dan secara terminologi Al-Hadist berarti: segala perbuatan, perkataan dan ketetapan/persetujuan Nabi Muhammad S.A.W (Af’al, Aqwal dan taqrir).

ü  As-Sunnah/ Al Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam
As-Sunnah/Al Hadist adalah sumber ajaran kedua setelah Al Qur’an. Ayat-ayat Al Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini seperti firman Allah dalam Q.S Al Imran (3) : 32 yang artinya :
“ Katakanlah : “ Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir.”
Apabila As-Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan kesulitan dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah.

ü  Hubungan As-Sunnah dengan Al Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan penjelas bagi ayat-ayat tertentu, apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a.       Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal. Seperti hadist riwayat Bukhari: Rasulullah SAW bersabda :
“Shalatlah kamu sebagaimana melihatku shalat” merupakan tafsiran dari Al-Qur’an yang umum “aqimush-shalah” yang artinya dirikanlah shalat.
b.      Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh penyataan-pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadist yang berbunyi :
“Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya” memperkokoh ayat Al-Qur’an Q.S Al-Baqarah (2):185 yang artinya:
“Beberapa hari yang ditentukan ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia...”
c.       Bayan Taudih, menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat al-Qur’an. Seperti penyataan nabi SAW:
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah penjelasan dari  Q.S At-Taubah (9):34 yang artinya:
“...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan azab yang pedih”.

ü  Perbedaan antara Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai Sumber Hukum
Perbedaan anatara Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber hukum antara lain:
a.       Al-Qur’an kebenarannya qath’i sedangkan Al-Hadist adalah dzanni/nisbi (mengandung dugaan kecuali hadist mutawatir);
b.      Seluruh ayat Al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi  tidak semua hadist harus dijadikan pedoman hidup. Disamping ada hadist yang shahih ada juga hadist yang dha’if dan seterusnya;
c.       Al-Qur’an sudah tentu autentik lafadz dan maknanya, sedangkan tidak semua hadist autentik.

ü  Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadist
Para ulama membagi perkembangan hadist itu kepada 7 periode yaitu:
1)      Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH- 11 SH)
2)      Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur-rasyidin : 12 -40 H)
3)      Masa pencarian hadist (pada masa generasi tabi’in dan sahabat-sahabat muda: 41 H- akhir abad I H)
4)      Masa pembukuan hadist (permulaan abad II H)
5)      Masa penyaringan dan seleksi ketat (awal abad III H samapai selesai)
6)      Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656H)
7)      Masa pembuatan kitab Syarah Hadist, kitab-kitab koleksi yang lebih umum (656 H dan seterusnya)
Pada zaman Rasulullah tidak ada aktivitas pencatatan hadist terkecuali secara rahasia oleh para sahabat Nabi yang khusus memerhatikan kepentingan hadists. Beberapa sebab dilarang keras melakukan pencatatan hadist adalah sebagai berikut:
a.       Nabi sendiri melarangnya,kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.
b.      Rasulullah berada di tengah-tengah umat islam sehingga dirasa tidak perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c.       Kemampuan baca tulis dikalangan sahabat sangat terbatas.
d.      Umat Islam sedang dikonsentrasikan pada Al-Qur’an.
e.       Kesibukan-kesibukan umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan dakwah yang sangat penting.
Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah nabi wafat dan pada saat generasi tabi’in mencari hadits-hadits itu. Di antara sahabat-sahabat itu ialah seperti:
a.       Abu Hurairah meriwayatkan sekitar 5374 hadits
b.      Abdullah Bin Umar Bin Khatab meriwayatkan sekitar 2630 hadits
c.       Anas Bin Malik meriwayatkan sebanyak 2286 hadits
d.      Abdullah Bin Abbas meriwayatkan sebanyak 1160 hadits
e.       Aisyah  Ummu-Mu’minin meriwayatkan sebanyak 2210 hadits
f.       Jabbar Bin Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 hadits
g.      Abu Sa’idmeriwayatkan sebanyak 1170 hadits

ü  Pengkodifikasian Al-Hadits
Pengkodifikasian Al-Hadits justru dilatarbelakangi oleh adanya usaha-usaha membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu, baik yang dibuat oleh umat islam sendiri karena maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Menurut sebagian besar ulama hadits ada 7 kitab hadits yang dinilai terbaik:
a.       Ash-Shahih Bukhari
b.      Ash-Shahih Muslim
c.       As-Sunnan Abu Dawud
d.      As-Sunnan Nasai
e.       As-Sunnan Tirmidzi
f.       As-Sunnan Ibdu majah Al-Musnad Iman Ahmad

C.    IJTIHAD
ü  Pengertian :
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da. Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan (Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
”pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani arti etimologi ijtihad adalah:
“Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.”
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
“Pada waktu sujud” dan hadist lain yang artinya “Rosul Allah SAW para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
“Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan dalil zhoni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat.

ü  Tujuan :
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

ü  Fungsi :
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

ü  Jenis-Jenis Ijtihad
1.      Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum -  hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.      Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang baru dan belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga diberikan hokum sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
a.       Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.      Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.       Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
3.      Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
a.       Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.      Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
c.       Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.      Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
e.       Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.


4.      Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

ü  Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
ü  Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
ü  Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
ü  Mujtahid
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Menurut Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan:
a.      Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
1.      Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun sendiri.
2.      Mujtahid madzhab.
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1.      Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas.
2.      Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.      Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah yang bersifat amali (taqlifi).
4.      Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari t.tth:199-200)
ü  HUKUM IJTIHAD
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar